Friday 3 September 2010

KREDIT MAHASISWA, SOLUSI ATAU IRONI?

Dua pemuda itu bernama Hermawan Bagus dan Ahmad Ainun Najib. Hermawan putra seorang supir truk di Jombang sedangkan Ahmad putra seorang buruh tani. Nama keduanya menjadi perbincangan karena berusaha menemui Rektor Universitas Jember (Unej) untuk meminta keringanan biaya masuk kuliah. Sebab, keduanya terancam gagal menjadi mahasiswa karena tidak mampu membayar biaya masuk sebesar Rp 6 juta meski telah lulus SNMPTN.

Nasib serupa menimpa Lutfi Agus, calon mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang, asal Pekalongan. Ia bersama orang tuanya berusaha menemui Rektor untuk meminta keringanan biaya masuk sebesar Rp. 16 juta. Namun niatnya kandas sehingga akhirnya ia menulis surat pembaca di sebuah media cetak terbitan Semarang dengan maksud sama; meminta keringanan. Beruntung Lutfi ternyata juga diterima di sebuah sekolah tinggi kedinasan milik Departemen Keuangan sehingga masa depannya lebih terjamin.

Bisa jadi kondisi serupa juga dialami ratusan bahkan ribuan calon mahasiswa miskin lain. Tuntutan mengelurakan uang dalam jumlah besar membuat bangku kuliah terasa sangat mahal. Keluarga Lutfi, sebelum akhirnya bisa melunasi tanggungan, bahkan harus menjual diesel yang digunakan ayahnya untuk mencari nafkah sebagai tukang las, meminjam uang dari saudara, tetangga, dan bahkan rentenir.

Barangkali realitas inilah yang menginspirasi Kementrian Pendidikan Nasional untuk menggulirkan kredit mahasiswa. Calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu bisa menggunakan fasilitas ini untuk membiayai kuliah dan biaya hidup selama studi. Uang tersebut wajib dikembalikan setelah mahasiswa bersangkutan bekerja.

Meski dinggap mampu menjadi solusi pintas menjembatani mahasiswa kurang mampu mengakses pendidikan tinggi, kredit mahasiswa memunculkan beberapa kekhawatiran. Pertama, di ranah filosofis, kredit mahasiswa tidak menunjukkan itikad baik pemerintah menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau masyarakat. Mekanisme ini justru mendekatkan pendidikan pada sifat-sifat jasa komersil lain.

Padahal, sejak lama telah disepakati, pendidikan wajib diselenggarakan negara sebagai ikhtiar mencapai tujuan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa. Mestinya pemerintah lah yang bekerja keras menggali sumber pendanaan supaya pendidikan dapat diakses seluruh masyarakat.

Kekhawatiran kedua, di tataran praktis pengucuran kredit dipastikan akan menemui sejumlah kendala. Sebagaimana bentuk kredit lain, pengucur biasanya meminta agunan. Sedangkan keluarga kurang mampu kesulitan mengagunkan aset karena keterbatasan ekonomi.

Dua persoalan ini penting dipecahkan sebelum kredit mahasiswa betul-betul diluncurkan. Sebab, dalam relasi pinjam meminjam, apalagi yang melibatkan bank, masyarakat dalam posisi lemah. Mereka tidak memiliki posisi tawar yang kuat karena dalam kondisi tidak berpunya. Jika di depan muncul persoalan, bisa ditebak masyarakat lah yang akan dirugikan.

Bisa Murah

Di luar mekanisme kredit mahasiswa, perguruan tinggi sebenarnya memiliki jalan lain untuk menampung mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Terlebih bagi perguruan tinggi yang kini berstatus Badan Layanan Umum (BLU), tentu memiliki otoritas lebih untuk mengelola sumber daya keuangan yang dimilikinya. Perguruan tinggi dapat mengurangi pungutan kepada masyarakat dengan memanfaatkan dana dari luar, seperti dana corporate social responsibility (CSR), hibah, bahkan dengan menghasilkan dana sendiri melalui unit pengembang bisnis.

Sayangnya, ketiga jalan di atas selama ini belum dioptimalkan. Perguruan tinggi tampaknya masih terlalu manja karena terbiasa menerima bantuan dalam bentuk rupiah murni (RM) dari pemerintah. Nalar kewirausahaan mereka belum terasah sehingga kurang tanggap memanfaatkan sumber keuangan. Akhirnya, mereka memilih jalan paling mudah dengan menetapkan sumbangan pendidikan tinggi kepada masyarakat.

Melihat potensi sumber keuangan negara yang demikian besar, pemerintah sebenarnya bisa menyelenggarakan pendidikan tinggi yang murah. Tentu saja pemerintah harus memiliki manajemen keuangan yang baik. Sebab, mahalnya biaya pendidikan selama ini disebabkan oleh beratnya beban keuangan negara. Dengan jumlah anggaran yang terbatas pemerintah ditarget pencapaian pembangunan tertentu. Jika pemerintah mampu mengefisienkan pengeluaran negara, pemborosan yang selama ini terjadi bisa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan.

Karena itulah, pemerintah ditantang untuk melakukan tiga hal, yakni melakukan efisiensi anggaran, memberangus praktik korupsi, sekaligus meningkatkan pendapatan negara. Birokrasi yang tambun dan berpotensi menyebabkan pemborosan uang negara harus sesegera mungkin dirampingan. Tidak hanya ditingkat pusat tetapi juga di daerah.

Supaya pemborosan negara dapat dihentikan tentu saja perang terhadap korupsi harus tetap menjadi agenda nasional. Fungsi-fungsi preventif dilakukan dengan memperkecil celah korupsi di setiap lini. Pada saat yang sama aset-aset koruptor dapat disita kemudian disumbangkan bagi penyelenggaraan pendidikan. Sebab, korupsi telah mengeliminasi hak-hak anak muda Indonesia memperolah pendidikan yang layak.

Jika ikhtiar ini sukses dijalankan, kredit mahasiswa sebenarnya tidak lagi diperlukan. Pemerintah masih bisa memberi subsidi kepada perguruan tinggi supaya tidak memungut dana dari masyarakat. Sebab, meski kredit pendidikan bisa menjadi solusi, tetap saja merupakan ironi di tengah riak gelombang pembangunan.

Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

3 comments:

  1. SEIRING, SEJALAN, SEIMBANG ANTARA SEBUAH KESELARASAN PEMIKIRAN. :)

    ReplyDelete
  2. Bagitukan mestnya Pak LG? Heheheh Life's Gud!

    ReplyDelete
  3. halo Pak..
    selamat malam...

    Tulisan & pendapat diatas sangat baik. saya pikir memang 2 orang itu "berontak" ubah nasib mereka.. Di saat jaman sekarang lulusan S1 menjamur bagai toko serba xxxxmart yang notabene gampang diraih oleh orang yang berduit he he he..
    anak di atas yg bernama Hermawan Bagus P contoh nya, kalau tdk salah dia jauh2 dari Jombang ke Jember cuma bekal pakaian seadanya.. bukan anak berada tp semangatnya luar biasa...

    btw.. Itu saya pak..
    Saya salah satu orang yg bpk jadikan tokoh di artikel di atas hehe..
    saya sekarang sudah bekerja, lulus bulan maret 2014..ya kurang lebih 2 tahun lalu..
    Salam kenal ya pak..
    Trima kasih atensi nya..

    Salam,
    bagus

    ReplyDelete